Rabu, 02 Juni 2010

Aku Memang Sombong

Agak sedikit berkelakar aku mengatakan kepada bapak-bapak dan ibu-ibu yang sedang bersama-sama mempelajari spiritualitas Ignasian pada suatu malam di ruang doa SMK Grafika, Solo. Aku bilang begini, “Saya ini batal menjadi seorang pastor karena empat hal. Dari total 100% penyebab batalnya, 25%-nya, adalah suatu misteri. Saya tidak tahu pasti kenapa, karena itu wilayah panggilan dan kehendak-Nya. 25% berikutnya karena saya sombong. 25% ketiga karena saya sangat sombong dan 25% berikutnya karena saya terlalu sombong.” Tidak berarti bahwa aku sekarang sudah terbebas dari godaan dan kejatuhan dalam kesombongan. Tidak berarti pula bahwa orang yang batal menjadi pastor meskipun sudah bertahun-tahun menyiapkan diri itu juga karena kesombongan. Aku juga tidak mewakili ataupun mengatasnamakan para mantan calon pastor. Ini sungguh-sungguh pengalaman pribadi saja. Empat belas tahun saya ada dalam proses itu dan jatuh dalam kesombongan yang fatal dan membalikkan semua arah hidupku.

Mengapa manusia itu sombong? Apa sebenarnya kesombongan itu? Megapa sering kali orang tidak sadar kalau dirinya sombong dan menyadari ketika sudah terjungkal akibat kesombongannya? Satu hal yang aku semakin pahami adalah bahwa kalau aku sombong itu dapat digambarkan aku sedang berpijak pada awan-awan, pada sesuatu yang semu, suatu saat aku pasti akan jatuh. Dan ketika menyadari sudah jatuh itu, kalau sadar, tidak jarang pula aku menyadari betapa bodohnya aku.

Menjadi sombong itu tidak sama dengan bangga secara wajar terhadap keberhasilan atau prestasi yang diraih dengan sungguh-sungguh. Menjadi sombong tidak sama pula dengan mengatakan yang sebenarnya kelebihan-kelebihan objektif yang dianugerahkan Tuhan pada diri sendiri. Menjadi sombong biasanya dimulai dari merasa bahwa semua hal yang kita miliki, keberhasilan-keberhasialn kita, kelebihan-kelebihan kita itu semata-mata karena usaha kita sendiri terlepas dari campur tangan Allah sebagai sumber dari hidup dan segala hal yang ada di alam semesta ini. Aku tidak akan membicarakan seterlalu apa kesombonganku. Aku hanya akan menceritakan bahwa kesadaran telah menjadi sombong itu bisa menjadi saat belajar untuk menjadi rendah hati. Sepertinya kecenderungan menjadi sombong itu memang sudah melekat dalam keberadaan manusia.

Aku masih ingat betul ketika aku bergulat keras mengusir perasaan merasa lebih baik dari teman-teman yang lain setelah menjalani minggu pertama dalam rangkaian retret selama 30 hari. Aku sadar betul bahwa ada di dalam pikiranku aku tidak semestinya merasa lebih baik dari teman yang lain, tapi pikiran itu terus bercokol di dalam diriku. Ada perasaan yang melekat di dalam hatiku. Itu pertama kali aku mengalami konflik batin dalam hal kesombongan. Dengan akal sehat, aku mengatasinya, bahwa aku memang berhasil melawati minggu pertama, tapi orang lain pun mendapat kesempatan yang sama.

Pengalaman merasa dirontokkan bangunan kesombonganku sekaligus jadi pengalaman indah sepanjang hidupku adalah ketika aku jatuh cinta pada pandangan pertama pada seorang mahasiswi kedokteran di awal aku mulai kuliah filsafat. Sebelumnya aku selalu merasa pasti bisa memikat gadis-gadis jika aku mau. Aku merasa mampu untuk itu. Tentu aku bangga sekali karena kemampuan itu. Aku benar-benar merasa kena batunya ketika aku benar-benar jatuh cinta pada seorang gadis bukan karena aku telah memikatnya atau bukan karena sesuatu yang ada dalam diriku. Di hadapannya aku tidak punya apa-apa untuk memikatnya. Aku benar-benar merasa nol besar. Pengalaman ini menuntunku pada kesadaran bahwa sebenarnya ndak ada yang bisa kusombongkan karena semua yang ada padaku tak lain dan tak bukan adalah milik-Nya.

Ini yang aku lukiskan saat itu ketika suatu hari aku harus mengakui betapa aku telah begitu sombong dalam hal ini. “Apa yang semuanya kubanggakan selama ini tidak ada artinya apa-apa jika aku tidak memiliki cinta kasih. Ketampananku, kepandaianku, kekayaanku tiada artinya lagi tanpa cinta kasih. Di hadapan ... ( gadis itu ) semua yang kumiliki rontok, tak ada yang dapat kubanggakan. Dia adalah Permata Embun yang terlalu indah dan terlalu berharga, jauh dari jangkauanku. Aku merasa rendah diri. Kesombonganku adalah anggapanku bahwa dengan tampangku dan kemampuanku aku bisa menaklukkan gadis-gadis cantik. Keliru total. Itu semua kesombongan. Lalu apa yang masih tersisa dalam diriku? Sesuatu yang harus kusyukuri : bahwa aku belajar mencintai; aku belajar merasa dicintaiNya. Menemukan bahwa cinta kasih itulah yang paling berharga membuatku gembira dan damai. Aku tidak boleh takut mencintai siapa saja dengan sepenuh hati.”

Sombong itu tidak kenal waktu, tidak kenal wilayah, tidak kenal tatanan. Enam tahun setelah aku menjadi orang biasa ( bukan calon pastor ), aku dikejutkan oleh pukulan telak dalam kesadaranku. Rupanya setelah keluar dari lingkungan para calon pastor aku diam-diam mengamati dan menilai pribadi-pribadi yang terlibat dalam pelayanan umat terutama para pro diakon yang membantu para pastor paroki melayani umat di bidang liturgi. Aku mulai merasa pintar dan lebih bisa dari mereka terutama dalam hal menjabarkan isi Kitab Suci. Akus sering menilai kotbahnya para pro diakon itu kurang mutu atau bahkan ada yang bener-bener ancur-ancuran. Meski waktu masih jadi calon pastor aku paling takut kalau mendapat giliran latihan kotbah, tapi setelah mejadi orang biasa aku justru merasa bisa berkotbah. Selama eman tahun itu terjadi proses internalisasi dari apa yang aku pelajari tentang spiritualitas selama 10 tahun. Dalam banyak hal aku menemukan pencerahan dalam menghayati spiritualitas Ignasian.

Kukira Dia yang telah bersusah payah mendidikku selama 14 tahun tidak tahan dengan kesombongan rohani yang sedang menjeratku. Pada saat aku berbangga diri menjadi orang yang lebih pinter itu Dia bertanya kepadaku dengan sangat jelas: “Kalau kamu memang lebih baik, dan memang lebih baik karena diberi kesempatan belajar bertahun-tahun di bidang itu, tapi kenapa kamu diam saja dan bersembunyi? Mana yang lebih baik, mereka yang tidak baik karena memang tidak dipersiapkan secara khusus untuk itu tapi mau memberikan diri untuk melayani atau kamu yang memang baik tapi tidak berbuat apa-apa untuk-Ku?” Sejak saat itu aku tidak pernah menilai jelek mereka-mereka yang mau melayani. Aku sangat menghormati mereka sebagai pribadi yang dipanggil dan mau menanggapi panggilan itu untuk melayani orang lain. Juga bila ada pastor yang kotbahnya tidak mutu, aku selalu mengatakan tapi ya itulah yang mau jadi pastor.

Akhirnya aku selalu mencoba kembali ke Asas dan Dasar yang dirumuskan oleh St. Ignatius Loyola. “Manusia diciptakan untuk memuji, menghormati serta mengabdi Allah Tuhan kita, dan dengan itu menyelamatkan jiwanya. Ciptaan lain di atas permukaan bumi diciptakan bagi manusia, untuk menolongnya dalam mengejar tujuan ia diciptakan. Karena itu manusia harus mempergunakannya, sejauh itu menolong untuk mencapai tujuan tadi, dan harus melepaskan diri dari barang-barang tersebut, sejauh itu merintangi dirinya. Oleh karena itu, kita perlu mengambil sikap lepas bebas terhadap segala ciptaan tersebut, sejauh pilihan merdeka ada pada kita dan tak ada larangan. Maka dari itu dari pihak kita, kita tidak memilih kesehatan lebih daripada sakit, kekayaan lebih daripada kemiskinan, kehormatan lebih daripada penghinaan, hidup panjang lebih daripada hidup pendek. Begitu seterusnya mengenai hal-hal lain yang kita inginkan dan yang kita pilih ialah melulu apa yang lebih membawa ke tujuan kita diciptakan.” ( LR 23 )


Lepas bebas itu bukan tanpa pamrih. Selalu ada pamrih dalam setiap tindakan kita yaitu demi kemuliaan Allah yang lebih besar ( AMDG ). Bila itu yang terjadi maka manusia akan mencapai kebebasan batin. Orang sungguh mencapai kebebasan batin bila di hadapannya, menjadi sombong dan menjadi rendah hati adalah dua pilihan bebas. Dia memiliki kebebasan untuk memilih menjadi sombong atau menjadi rendah hati. Dia juga tahu konsekuensi dari pilihan itu.

Tidak ada komentar: