Rabu, 02 Juni 2010

Awas... jangan!

Dalam suatu kesempatan sarasehan dengan beberapa orang tua tentang luka-luka batin masa kecil yang dapat menghambat seseorang untuk memperdalam hidup rohani, ada dua orang bapak yang mensharingkan pengalaman mereka dalam mendidik anak-anak mereka yang saat itu sudah menjadi dewasa. Keduanya mensharingkan pengalaman yang serupa dalam mendidik anak mereka waktu kecil. Anak yang semasa kecilnya terlalu dilindungi ketika sudah dewasa menjadi orang yang kurang memiliki keberanian untuk memutuskan dan mengambil resiko, cenderung tidak mandiri dan kurang percaya diri. Orant tua terlalu protektif. Sedangkan anak yang lebih banyak diberi kebebasan untuk berkembang sesuai dengan tahap perkembangan pribadinya, setelah dewasa menjadi orang yang lebih mandiri dan percaya diri. Dalam hal ini orang tua tidak terlalu protektif.
Adakah batasan antara terlalu protektif dan tidak protektif? Jawabannya terletak pada kebijaksanaan orang tua. Kebijaksanaan ini seyogyannya dilandasi dengan pengetahuan mengenai perkembangan anak sehingga kapan harus protektif dan kapan harus berani memberikan peluang bagi anak untuk menjajal otonominya sungguh seimbang.

Dr. Ava L. Siegler, Ph.D., ahli psikologi anak dalam buku The Essential Guide To The New Adolescence, memberikan langkah-langkah bijak bagi orang tua dalam memberikan perlindungan sejalan dengan pertumbukan dan usia anak.

1. Anak umur 0-1,5 tahun
Pada umur ini anak membutuhkan keterlibatan total dari orang tuanya. Seorang bayi, masih sangat tergantung pada tindakan orang tua entah itu bujukan, hiburan, dekapan dan sebagainya agar dia merasa nyaman. Adalah sangat tidak bijaksana apabila ada orang tua yang mencoba bersikap keras terhadap bayi dengan harapan bayi akan tumbuh tegar dan kuat. Perlakuan itu justru dapat menimbulkan hasil yang bertentangan dengan yang diinginkan. Bayi akan menjadi tergantung dan rewel. Seorang bayi akan tenang dan makin lama makin bisa berbaur dengan lingkungannya bila diperlakukan dengan lembut dan penuh perlindungan. Dalam hal ini orang tua perlu memperhatikan dengan cermat sinyal bayi agar orang tua tahu tingkat keterlibatan yang dibutuhkan si bayi. Misalnya, kalau bayi menangis karena pipis, maka orang tua harus cepat bertindak mengganti popok. Tapi bisa juga bayi merengek saja, maka orang tua cukup dengan menenangkan saja ( misalnya dengna kata-kata yang menenteramkan, “Ya, sayang. Mami ada di sini sedang mencuci ya. Bentar lagi selesai.”)
Setelah bayi memulai latihan ketrampilan motoriknya seperti duduk, merangkak, dan berjalan, orang tua mungkin akan sulit menentukan batasan antara terlalu protektif dan tidak protektif. Orang tua manapun pasti berpikir bahwa keamanan selalu merupakan prioritas utama bila berhubungan dengan bayi. Akan tetapi perlu diingat juga bahwa bayi perlu mengambil beberapa risiko untuk tumbuh dan berkembang. Terlalu melindungi anak pada saat dia belajar berjalan atau merambat, akan berpengaruh pada kemampuan anak untuk menghadapi resiko dan menentukan pilihan. Jika anak yang berusia 7 bulan berdiri dengan berpegangan pada jeruji boks, dia ingin memberitahu orang tuanya bahwa dia sudah siap menerima tantangan fisik, walaupun dia masih perlu bantuan untuk bisa duduk kembali.

2. Anak umur 1,5 - 3 tahun
Pada usia ini anak mulai bergerak lincah dan rasa ingin tahu mendorongnya untuk menjelajahi lingkungan sekitarnya. Dalam masa ini keselamatan merupakan hal paling penting bagi orang tua. Pengawasan penuh dan hati-hati harus dilakukan. Akan tetapi, terlalu banyak mengatakan “jangan”, “awas”, “tidak boleh” pada usia ini justru akan menghambat rasa ingin tahu yang merupakan dorongan alamiah untuk belajar yang akan mempengaruhi motivasi normal untuk berprestasi. Apabila orang tua terlalu khawatir terhadap gerak anak-anak ini dan melarang anak untuk bereksplorasi, mencoba ini itu, maka ada kemungkinan daya inisiatif dan kreativitas anak akan tidak berkembang secara optimal. Banyak orang dewasa yang sulit membuat keputusan untuk dirinya sendiri karena di masa kecilnya terlalu diproteksi oleh orang tuanya.
Jika demikian, adakah cara mendorong otonomi anak tanpa mengabaikan keselamatan anak? Tentu saja ada. Kita dapat menggunakan perkembangan kecerdasan anak untuk mengajarinya tentang sikap kehati-hatian yang wajar dan tepat. Sebagai contoh, orang tua tidak sekedar berteriak, ‘Jangan!’ pada anak sewaktu anak meraih cangkir yang penuh dengan kopi panas. Sebaliknya, orang tua dapat memberikan penjelasan dengan penuh perhatian, “Dhik, kopinya masih panas sekali ini. Kalau kena tangan nanti bisa sakit. Sesuatu yang panas, bisa membuat kamu sakit, seperti kompor yang panas, api lilin, dan sebagainya. Coba kamu pegang dikit tapi jangan lama-lama ya. Nah panas khan?”
Anak-anak belajar dari pengalaman. Kalau orang tua melindungi anak dengan tak pernah semenit pun melepaskannya dari pengawasan, itu artinya orang tua itu terlalu protektif. Itu membuat anak terlalu tergantung kepada orang tua untuk memproses informasi tentang keadaan sekelilingnya dan tidak mendorongnya untuk berpikir bagi dirinya sendiri melalui situasi-situasi baru.
Tentu saja masih ada banyak cara lain untuk memberikan peluang anak belajar menguji otonominya dengan cara yang aman. Menciptakan lingkungan yang aman bagi anak, misalnya. Daripada melarangnya bermain di bak pasir, lebih baik membersihkan pasirnya dari kotoran-kotoran atau benda-benda berbahaya sebelum dia masuk ke dalam bak itu. Daripada berkata ‘jangan !’ setiap kali dia menarik kabel peralatan listrik, lebih baik amankan ruangan sehingga anak bebas menjelajahinya tanpa takut menghadapi masalah. Anak akan matang lebih cepat jika orang tua menyediakan beberapa peluang untuk kebebasan yang aman tetapi tetap di bawah pengawasan.

3. Anak umur 3 - 6 tahun
Dalam tahap ini anak harus belajar mengenai pelajarn hidup yang penting. Pada usia ini, kepribadian anak mulai terbentuk dan bisa dijadikan ukuran untuk menentukan jenis keterlibatan yang diperlukannya dari orang tua. Secara fisik anak yang berani dan tak bisa diam mungkin perlu bantuan untuk belajar bagaimana cara mengendalikan dorongan-dorongannya. Misalkan anak berlompatan di tempat yang cukup tinggi dengan landasan yang keras. Daripada mengatan “Awas jangan lompat!” Kita bisa mengatakan, “Di situ terlalu tinggi, kalau jatuh di tempat keras nanti bisa sakit. Coba lompatnya di rumput itu saja.” Untuk anak yang agak penakut orang tua harus memberikan dorongan untuk percaya pada kemampuan fisiknya. Misalnya dengan mengatakan, “Lompatan itu tinggi. Tapi saya kira akan aman karena kamu akan mendarat di pasir. Kalau kamu ingin coba, saya akan menyambut kamu kalau jatuh.”
Umur 3-6 tahun adalah umur di mana ketrampilan sosial anak-anak perlu dikembangkan. Untuk anak yang pemalu, orang tua perlu memberikan dorongan agar anak berani dan merasa percaya diri berhadapan dengan orang lain. Misalnya dengan menatakan, “Bu Dewi tadi senang lho waktu kamu menyapanya. Dia benar-benar senang sama kamu.” Untuk anak yang terlalu ramah, orang tua perlu mengajari untuk sedikit membatasi atau mengarahkan keramahannya pada tempat yang pas. Contohnya, “Kamu boleh mengucapkan salam kepada semua orang, tapi tidak boleh duduk di pangkuan orang yang baru kau kenal.”
Pada umumnya dalam masa pertumbuhan ini, ketrampilan sosial anak perlu dipoles. Anak masih memerlukan orang dewasa atau orang tua untuk mengatur jadwal bermain dan aktivitas-aktivitasnya. Akan tetapi hindari untuk mencampuri dan mengendalikan permainan mereka. Pada masa ini anak harus mulai dilatih mengatur dirinya sendiri dan menikmati otonominya.
Pada masa ini pula anak sudah cukup besar untuk berinteraksi dengan orang dewasa misalnya tetangga, guru, pelayan toko, tukang becak dan sebagainya. Akan tetapi anak masih terlalu polos dan mudah untuk dibohongi. Ini merupakan saat yang tepat untuk menanamkan aturan-aturan dasar tentang keselamatan dirinya. Misalnya sehubungan dengan orang asing, anak diberitahu harus bagaimana, “Jangan menerima makanan dan minuman dari siapa pun yang tidak kamu kenal.” “Jangan pergi dengan orang asing tanpa sepengetahuan ayah dan ibu.”

4. Anak umur 6 - 9 tahun
Ini adalah usia anak sekolah di mana ia harus belajar berpikir untuk diri mereka sendiri.
Tahun-tahun antara umur 6 dan 9 merupakan masa yang penting untuk pencapaian ketrampilan intelektual dan sosial. Pada umumnya orang tua akan mendorong anak untuk belajar keras dan berprestasi pada masa ini. Tidak jarang pula anak menjadi sangat setres karena tuntutan orang tua. Ada pula orang tua yang terlibat terlalu aktif untuk mengerjakan PR anak sampai tidak ingat bahwa yang bertanggung jawab untuk belajar adalah anak bukan orang tuanya.
Dalam kaitannya dengan pekerjaan rumah dari sekolah ini, banyak terjadi perang antara anak dan orang tua. Si anak suka menunda untuk mengerjakan sedangkan si orang tua sangat cemas kalau nilai anak jelek. Orangtua yang terlalu ambisius untuk anaknya biasanya menjadi cemas dengan kinerja anaknya sampai akhirnya mereka mengerjakan tugas-tugas anaknya. Bila ini yang terjadi, anak akan dirugikan karena merasa usahanya tidak ada harganya, tetapi juga membuat gurunya jadi tidak mengetahui perkembangan anak yang sebenarnya.
Masa-masa ini juga merupakan waktu bagi orang tua untuk tidak lagi mengatur waktu main atau main dengan siapa. Orang tua harus mulai mendorong anak untuk membuat rencananya sendiri. Misalnya dengan menanyakan, “Jam berapa nanti kamu akan mengerjakan PR-nya?” Dengan cara itu, anak tidak merasa disuruh tapi mau tidak mau dia akan berpikir untuk mengatur dirinya.

5. Anak umur 9 - 12 tahun
Pada umumnya anak pra remaja akan menantang perlindungan dari orang tua. Menurut Dr. Ava, saat anak mendekati masa remaja, adalah normal jika mereka menolak usaha orang tua untuk melindungi mereka. Ini merupakan gejala normal anak berlatih mengatur diri sendiri tanpa campur tangan orang tua. Hal itu jangat diartikan sebagai mau melawan. Ini adalah suatu perkembangan yang sangat penting sebagai langkah awal menuju otonomi masa dewasa. Akan tetapi orang tua tetap harus memberikan perhatian pada hal-hal yang akan membawa mereka ke arah yang salah misalnya bagaimana memanfaatkan internet. Melarang anak belajar memanfaatkan internet tentu tidak bijaksana. Tetapi membiarkan anak bebas mengakses apa saja juga tidak bijaksana apalagi untuk hal-hal yang mereka sendiri belum memahami sepenuhnya. Mengarahkan anak agar memanfaatkan internet untuk hal-hal yang berguna secara lugas akan jauh lebih bermanfaat daripada sekedar melarang begitu saja tanpa memberikan penjelasan mengenai bahaya dan akibat-akibat lainnya.

Untuk anak-anak pada umur ini, melebihi masa sebelumnya, orang tua harus mengemukakan harapan-harapannya pada anak-anak, menegaskan kembali nilai-nilai dan standar-standar nilai yang baik yang diyakini orang tua. Meskipun demikian, tetap penting untuk membiarkan anak pra remaja mengambil peluang dan kemungkinan berbuat salah. Banyaknya jumlah perlindungan yang sering diikuti dengan sedikitnya jumlah kebebasan pada usia ini bisa menimbulkan tindakan yang oleh Dr. Ava disebut lie or defy (berbohong atau menentang). Pembatasan yang tidak masuk akal bisa membuat anak menghindar atau tak mau mengakui perbuatannya secara terbuka. Hal ini bisa menciptakan suasana saling tidak percaya dan konflik dalam keluarga. Yang lebih buruk lagi adalah, terlalu memberikan perlindungan pada usia ini bisa mengakibatkan anak pra remaja yang begitu bergantung pada keluarganya, sampai tak bisa berpisah dari keluarganya. Terlebih lagi, tak bisa menciptakan hubungan baru dengan anak-anak seusianya atau membangun karakter yang merupakan perkembangan wajib yang penting pada masa remaja.

Pertanyaannya: apakah Anda orang tua yang terlalu protektif atau tidak? Jawabannya ada pada Anda. Orang tua yang sukses adalah orang tua yang mampu mendidik anak menjadi pribadi yang bisa mengurus dirinya sendiri. Bila diibaratkan seperti burung, orang tua harus mengizinkan anak menguji sayapnya. Orang tua tidak mendorongnya keluar dari sarang sebelum dia dipersiapkan untuk terbang. Dia juga tidak menahannya ketika si anak sudah siap untuk terbang.

Tidak ada komentar: