Rabu, 02 Juni 2010

FORGIVING : Langkah Awal Penyembuhan Luka Batin

Aku sedang bersama Pastor Ketua Badan Kerjasama Sekolah (BKS) YPK Kevikepan Surakarta mempersiapkan LPJ pengurus BKS periode 2007-2009, di ruang pertemuan kantor Yayasan Kanisius Cabang Surakarta, ketika Hp-ku bergetar menandakan ada SMS masuk. Sejenak tergetar aku mengetahui bahwa pengirimnya adalah seseorang yang pernah menorehkan lukisan indah tentang kehidupan dalam kanvas sejarah hidupku. Bulan Maret sepuluh tahun yang lalu aku memberitakan sesuatu yang meretakkan bejana hatinya dan mengoyakkan hubunganku dan dia. Amat singkat aku menulis pesan via email kepadanya, “I’m a married man.” “Aku sudah menikah.” Kata-kata itu telah cukup lama aku simpan sejak aku menikah setahun sebelumnya. Cinta mati yang pernah aku ikrarkan padanya tiba-tiba menjadi tusukan tajam tepat pada pusat harga dirinya. Aku tidak bisa membayangkan apa persisnya yang terjadi setelah itu berita itu.

Aku sudah sangat lama menanti ungkapan yang ada dalam pesan singkat itu, forgiving, memaafkan. Bukan pertama-tama menunggu aku dimaafkan tapi lebih menanti dia memaafkan karena aku percaya Tuhan telah memaafkan aku dan aku juga telah memaafkan diriku sendiri. Menjelang hari Rabu Abu 2010, dia mengatakan bahwa dia memaafkan aku dan memaafkan dirinya sendiri meski hatinya masih terluka. Tentu saja bekas luka itu akan tetap menghiasi bejana hidupnya. Baginya, memaafkan merupakan suatu proses perjuangan. Aku memahami itu.

Pengalaman bersama dia memberikan pelajaran mendasar bagiku tentang mencintai, tentang luka hati, tentang sakit, tentang memaafkan, tentang kesetiaan dan tentang hidup yang lainnya. Kali ini aku akan bicara tentang memaafkan yang membebaskan belenggu luka-luka hati yang menimbulkan kepedihan dan kesakitan itu.

Rasa sakit sesakit-sakitnya melampaui rasa sakit fisik yang pernah aku alami adalah ketika aku menyadari telah menyakiti orang yang sangat aku cintai. Seluruh jiwa dan ragaku benar-benar merasakan sakit itu. Sakit dalam jiwaku sampai berimbas pada tubuhku yang kadang menggigil, bergetar. Keinginan paling kuat adalah keinginan untuk mati. Aku benar-benar menderita karena beban batin yang sangat berat, menyesakkan, memalukan, menghancurkan semua bangunan kepercayaan diri dan juga bangunan kesombonganku. Pada saat bersamaan aku telah menghancurkan hubunganku dengan orang tuaku, dengan lembaga yang membesarkanku, dengan orang-orang yang aku cintai dan yang paling menusuk pusat keberadaanku sebagai seorang pribadi manusia adalah karena aku telah mengkhianati orang yang paling aku cintai.

Selama tiga bulan aku bergulat dengan kehancuran diri. Secara alamiah selama bergulat itu, aku membangun kekuatan untuk menghadapi semuanya dengan memohon campur tangan pemberi hidupku. Keinginan yang begitu kuat untuk mati karena tidak kuat menanggung beban psikis dan rasa sakit jiwa itu membawaku pada titik di mana aku tidak lagi takut merasakan rasa sakit fisik. Sakit fisik akan otomatis berhenti bila ambang batas rasa sakit itu telah terlampaui dan orang akan pingsan. Aku merasa bahwa aku sebenarnya sudah mati, sudah habis, sudah tak berharga lagi di mata dunia ini. Aku telah menghancurkan bangunan hidupku sendiri. Beruntung bahwa aku tidak sampai menjadi gila karena baban psikis itu. Allah yang telah menciptaku turun tangan. Aku dihidupkan lagi. Bejana hidupku yang sudah hancur berantakan disatukan lagi. Dia mengatakan kepadaku, “Engkau berharga di mata-Ku.”

Moment itu merubah total cara pandangku terhadap apa yang aku alami dan terhadap kebodohan yang menghasilkan penderitaanku. Aku menderita karena kebodohanku sendiri dan aku merasa sudah tidak layak lagi hidup di hadapan manusia mana pun di dunia ini. Tetapi, Tuhan melihatnya dengan cara lain. Di hadapan-Ny aku tetaplah manusia yang Dia cintai. Aku serahkan secara total hidupku, jalan hidupku kepada-Nya. Itu adalah saat aku merasakan bagaimana berserah diri total kepada Allah yang membebaskan aku. Aku merasa terangkat, aku merasa bahwa hidupku sebenarnya tidak sia-sia. Aku melihat terang lagi. Sehancur-hancurnya hidupku aku masih tetap hidup. Dan aku diciptakan bukan tanpa tujuan. Maka aku hidup lagi.

Sejak itu pula aku tidak takut mati. Tidak takut kehilangan. Tidak takut merasakan sakit fisik karena bila sudah melampaui ambang batas daya tahan pasti aku akan pingsan dan dengan demikian aku selamat. Yang harus aku lakukan terus-menerus adalah memaafkan diri sendiri. Tentu saja aku minta maaf kepada semua pihak yang telah aku sakiti. Entah mereka sudah memaafkan aku atau belum aku tetap yakin bahwa Allah telah memaafkan aku. Memaafkan diri itu juga tidak seketika selesai. Aku semakin yakin bahwa untuk bisa membebaskan diriku sendiri dari rasa bersalah adalah dengan memaafkan, tidak ada cara lain. Dan memaafkan itu merupakan jalan penyembuhan.

Aku tidak tahu persis apa yang dialami oleh orang yang telah aku lukai. Aku hanya bisa menduga bahwa tentu amat sakit dikianati oleh orang yang paling dia cintai. Aku hanya tahu bahwa dia sangat terluka dan tidak segera bisa memaafkan aku. Kiranya Dia yang dulu menghidupkan aku lagi telah turun tangan atau lebih tepatnya dia telah memberi kesempatan pada-Nya untuk turun tangan. Aku berharap, dengan memaafkan aku, dia akan sembuh dari sakitnya dan ada damai di dalam hatinya.

Tidak ada komentar: